Senin, 21 Juni 2010

Tembung Kriya

1.1. Pengertian Tembung Kriya atau Verba.
Tembung kriya atau Verba (kata kerja) yaitu kata yang menjelaskan suatu pekerjaan atau aktivitas (Verba Tindakan). Tembung kriya juga bisa mengandung maksud jalannya keadaan (Verba proses).
Contoh kata kerja yang menjelaskan pekerjaan atau verba tindakan : mulang, nabrak, nuntun, ngoyak, mbayar, numpak, dan lain – lain.
Contoh tembung kriya yang menjelaskan proses atau verba proses : mblawus, teyengen, mlethek, dan lain – lain.
1.2. ciri - ciri tembung kriya atau kata kerja :
Ciri morfologis :
a. D (dasar). Contoh: adus, turu, adol, golek
b. N-D / N-D-I, N-D-ake. Contoh: ngombe, nimba, nulisake,ngedusi
c. tripurusa-D. contoh: dakjiwit, kokantem, dijaluk
d. ke-D-an. Contoh: ketiban, kethuthuk
e. D-an. Contoh: gojegan, lungguhan
f. D-D. contoh: bengok – bengok, bisik - bisik
g. –in-D / -in-D-an. Contoh: tinulis,binoyongan
Ciri Sintaksis :
a. Dapat didahului oleh penanda negatif ora’tidak’. Contoh: ora lunga’tidak pergi’, ora turu’tidak tidur.
b. Tidak dapat didahului oleh rada’agak’ (*rada lunga), luwih (*luwih mlayu). Ket : * “asterik” = hal ini tidak lazim, aneh baik struktur maupun makna.
c. Tidak dapat diikuti oleh paling (*gojek paling), dhewe (*ngombe dhewe, kata dhewe dalam konteks ini bermakna ‘paling’), luwih (*nimba luwih), banget (*menek banget).
Ciri Semantik
Kata kerja juga bisa dinegasikan dengan kata “ora”.Kecuali bisa dinegasikan, kata kerja bahasa Jawa juga bisa disambung atau diddahului dengan kata “anggone”(Sasangka, 2001:101). Misalnya kata lunga dinegasikan dengan kata “ora” menjadi ora lunga, dan didahului dengan kata “anggone” menjadi anggone lunga. Contoh sebagai berikut : “Wong tuwane ra nyangoni bandha”(cerkak sepdhane pak guru Suwardo). Dari contoh tersebut yang menjadi verba yaitu “nyangoni”. Nyangoni masuk verba tindakan atau verba aksi karena melakukan salah satu tindakan atau pekerjaan.
1.3 Pengelompokan Kata Kerja
Kata kerja (verba) dapat dikelompokan menjadi beberapa katagori yaitu :
1. Berdasarkan watak sintaksisnya
a. Kata kerja aktif (tembung kriya tanduk)
Kata kerja aktif adalah kata kerja yan subjeknya (jejer) bertindak sebagai pelaku dikenai pekerjaan. Kata kerja aktif ini berciri menggunakan imbuhan nasal (ater-ater hanuswara) yaitu : m-, n-, ng-, dan ny-. Kata kerja aktif dapat dikelompokan lagi menjadi :
1). Kata kerja aktif transitif (kriya tanduk mawa lesehan)
Kata kerja aktif transitif adalah kata kerja aktif yang dapat diikuti objek. Objek tersebut bisa pelengkap pelaku atau pelengkap penderita. Kata kerja transitif ini menggunakan ater-ater hanuswara(m-, n-, ng-, ny-), ater-ater hanuswara + sufiks -i (m – i, n – i, ng – i, ny – i) atau akhiran -ake (m – ake, n – ake, ng – ake, ny – ake).
Contoh : mbatik, nulis, ngangkat, nyapu, dll
mbalang / mbalangi, nuthuk / nuthuki, nggurug / nggurugi, dll
metuk / metukake, nuntun / nuntunake, ngaruh / ngaruhake, dll
2). Kata kerja aktif intransitif (kriya tanduk tanpa lesan)
Kata kerja aktif intransitif adalah kata kerja aktif yang tidak memerlukan objek. Kata kerja aktif intransitif ini menggunakan ater-ater hanuswara (m-, n-, ng-, ny-) ma anuswara (maNasal) dan mer-.
Contoh : nembah / manembah,
3). Kata kerja pasif (Tembung kriya tanggap)
Kata kerja pasif adalah kata kerja yang subjek (jejer) menjadi penderita. Kata kerja ini berciri menggunakan ater-ater tripurusa(dak-, kok, di-) ater-ater tripurusa + sufiks –I, -ake/ -ke (dak-/kok-/di-, -i/-ake/-ke), perfiks ka-, ke-, dan infiks –in-. Contoh : dakgambar, dakjupukake, kokjiwit, ditulis, diresiki, disilihake, digawake dan lain - lain. Ada juga yang berupa kata kerja dalam bentuk reduplikasi yang mendapat infiks-in yang dalam bahasa jawa disebut tembung kriya tanggap tarung. Contoh: tulung – tinulung, tulis – tinulis dan lain – lain.
2. Berdasarkan kegandaan morfem pembentuknya
2.1 Verba monomorfemis ( tembung kriya wantah ) adalah verba yang berupa satuan gramatik yang terdiri dari lebih dari satu morfem dan tidak mendapat imbuhan.
Contoh: lunga, tangi, lungguh, teka, turu, dan lain – lain.
2.2 Verba Polimorfemis adalah verba yang berupa satuan gramatik yang terdiri dari lebih dari satu morfem yang merupakan gabungan antara kata dasar dengan imbuhan (afiks: prefiks, infiks, sufiks,atau konfiks).
Contoh: nandur, nyaponi, pinuji, daktaleni.
3. Berdasarkan sifat makna leksikal verba yang mengacu pada keberubahan:
3.1 Verba perbuatan atau aksi
Verba perbuatan atau aksi adalah yang menunjukan kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh pelaku (subjek).
Contoh: mangan, macul, ngombe3, mbalang, nendhang.
3.2 Verba Proses
Verba yang menunjukan suatu proses yang sedang dilakukan.
Contoh: mecah, thukul.
3.3Verba Keadaan
Verba yang menunjukan suatu kegiatan yang menggambarkan suatu keadaan yang diderita oleh pelaku ( subjek).
Contoh: mbledos, kempes, njeblug.

Kamis, 03 Juni 2010

Serat Tripama Karya KGPAA Mangku Negara IV

Bait I
Yogyanira kang para prajurit
lamun bisa sira anulada
duk ing nguni caritane
andel ira Sang Prabu Sasrabahu ing Maespati
aran patih Suwanda
lalabuhanipun kang ginelung triprakara
guna kaya purun ingkang den antepi
nuhoni trah utama”

Sebaiknya kalian para prajurit, jika bisa meneladani, pada waktu dahulu ceritanya, senopati andalan Sang Prabu Harjuno Sasrabahu di Maespati, seorang patih bernama Suwanda, oleh sang Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati, kesetiaannya, yang mencakup tiga perkara.
Pertama “Kepandaian (ilmu)”; Kedua “Kekayaan akan akal”, pikiran dan siasat peperangan dan Ketiga “Kebenaran” yang penuh dengan semangat patriotik; inilah yang disebut manusia utama.

Bait II.
Lire lalabuhan triprakawis,
guna bisa sanes kareng karya,
binudi dadya unggule,
kaya sayektinipun duk bantu prang Manggada nagri,
amboyong putri damas katur ratunipun,
purune sampun tetela,
aprang tanding lan ditya Ngaka nagri,
Suwanda mati ngrana.

Adapun yang dimaksud dengan tiga contoh pengabdian tersebut, adalah guna (berarti) dapat melaksanakan segala hal, dan diusahakan menjadi keunggulannya, kaya (berarti) ketika (membantu) melakukan perang ke negara Magada, dan berhasil memboyong/merebut putri domas (Citrawati dan 800 pengiringnya) untuk dipersembahkan kepada rajanya dan purun/berani/kemauan adalah seperti tampak jelas di kala dengan gagah berani perang melawan raksasa (Rahwana) dari negri Alengka, dan Sumantri gugur dalam medan perang.

Bait III
Wonten malih tuladan prayogi,
satriya guna nagri ing Ngalengka,
Sang Kumbakarna arane,
tur iku warna diyu,suprandene nggayuh utami,
duk wiwit prang Ngalengka,
dennya darbe atur,
Mring raka amrih raharja.
Dasamuka tan kengguh ing aturyekti,
mengsah wanara.

Ada lagi teladan yang patut dicontoh, seorang ksatria agung dari negeri Alengka, bernama Kumbakarna, walaupun ia berwujud raksasa, namun berbudi utama (luhur), sejak perang Alengka, ia selalu mengingatkan kepada kakaknya demi keselamatan negara, namun Rahwana tidak mau berubah pendiriannya untuk melawan prajurit kera.

Bait IV
Kumbakarna kinon mangsah jurit,
mring kang raka sira tan lenggana,
nglungguhi kasatriyane,
ing tekad datana suyud,
amung cipta labuh nagari,
lan noleh yayah rena nyang leluhuripun,
wus mukti haning Ngalengka mangke,
arsa rinusak ing bala kapti punagi mati ngrana”.

Kumbakarna diminta mengangkat senjata, mendengar perintah dari kakaknya, untuk melawan musuh yang menyerang negaranya, berangkat tanpa mendak karena memegang teguh sifat keksatriaannya, walaupun di dalam hatinya sesungguhnya tidak setuju akan perbuatan kakaknya yang salah, tetapi dia tetap berangkat ke medan perang dengan maksud untuk membela negara, keluhuran keluarga, leluhurnya dan bangsanya. Maka ia bersemboyan lebih baik mati dalam medan peperangan dari pada hidup mewah di Alengka tetapi (di rusak) prajurit kera.

Bait V
Wonten malih kinarya palupi,
Suryaputra narpati Ngawangga,
lan Pandawa tur kadange
len yayah tunggil ibu suwita mring Sri Kurupati,
nagri Ngastina kinarya gul agul,
manggala golonganing prang,
Bratayuda ingadeken sepopati,
ngalaga ing Kurawa.

Adalagi teladan yang pantas dicontoh, Suryaputra seorang Narpati dari Awangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara, lain ayah tetapi sekandung (ibu), yang dengan setia mengabdi kepada Prabu Kurupati dari negeri Astina sebagai agul-agul (benteng), panglima perang, dalam perang Bratayuda menjadi senopati (perang) untuk membela Kurawa.

Bait VI
Den mungsuhken kadange pribadi,
aprang tanding lan Sang Dananjaya,
Sri Karna suka manahe,
dene nggenira pikantuk marga denya arsa males sih-
ira Sang Duryudana marmanta kalangkung,
denya ngetok kasudirane,
aprang rame Karna mati jinemparing,
sembaga wiratama.

Sang Karna gembira mendengar perintah rajanya yang melawan saudaranya sendiri berperang dengan Sang Arjuna, karena inilah satu-satunya jalan untuk dapat membayar budi, rajanya yang telah memberi derajad, pangkat, kenikmatan duniawi, maka berangkatlah dengan kekuatan yang ada kemedan pertempuran guna menunaikan tugas senapatinya dan akhirnya Adipati Karna gugur dalam medan pertempuran sebagai perwira utama”.

Bait VII
Katri mangka sudarsaneng jawi,
pantes agung kang para prawira,
amirata sakadare,
ing lelabuhanipun,
hawya kongsi buang palupi,
manawa tibeng nista,
ina estinipun senadyan tekading budya,
tan prabeda budi panduming dumadi, marsudi ing Kautaman.

Ketiga contoh itu merupakan teladan di jawa, yang pantas jikalau semua para prajurit dapat menghayati sekuasanya, dalam pengabdiannya terhadap (kerajaan), jangan sampai melalaikan contoh-contoh baik, jika jatuh kelembah nista, hina, kemauannya; walaupun sentausanya budi tidak ada lain hendaknya berusaha sesuai dengan harkat hidupnya, berusaha dalam keutamaan.

Konfiks Ka-an dalam Bahasa Indonesia

Kita sering mendengar atau bahkan melihat sebuah perhelatan yang digelar secara berjenjang. Perhelatan yang umumnya berupa kegiatan perlombaan atau pertandingan itu digelar secara berjenjang mulai dari tingkat terendah hingga tertinggi. Sebagai contoh: “Ratih mengikuti perlombaan membaca puisi tingkat Karesidenan Surakarta”. Dalam kalimat tersebut terdapat kata ‘karesidenan’ yang berarti daerah (terdiri dari beberapa kabupaten) yang dikepalai oleh residen.
Jika kita melihat secara sepintas, kalimat tersebut seolah tidak bermasalah. Hal inilah kesilapan yang sering kita lakukan. Salah kaprah dalam berbahasa Indonesia. Kita mengenal bahwa bentuk konfiks Ka-an (dalam Ka-residen-an) tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Proses pembentukan tersebut hanya terjadi dalam bahasa Kawi/bahasa Jawa. Terlihat pengaruh inferensi terjadi dalam pembentukan kata tersebut. Dalam bahasa kita konfiks yang ada adalah ke-an. Sehingga kata tersebut seharusnya adalah ‘keresidenan’ bukan ‘karesidenan’ sebagaimana kata ‘kecamatan’, ‘kepresidenan’, ‘kerakyatan’ dan sebagainya. Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan kata ‘kabupaten’, dan ‘kawedanan’?
Demikianlah sifat ekstrover, keluwesan dan kelenturan bahasa kita. Hal inilah yang menyebabkan bahasa kita menjadi unik sekaligus membuat para penggunanya menjadi salah kaprah dalam berbahasa karena belum tahu bentuk yang baku. Dalam KBBI Edisi keempat, kedua kata tersebut memang kita dijumpai. Dengan demikian kata tersebut memang sudah menjadi kata dalam bahasa Indonesia sehingga sudah tepat dalam penggunaannya. Kata tersebut diadopsi/diserap begitu saja menjadi bahasa Indonesia dari bahasa Kawi/bahasa Jawa. Selanjutnya, bagaimanakah sikap kita memperhatikan hal tersebut? Sepantasnyalah kita selalu mengonsultasikan setiap kata yang akan kita gunakan dengan kamus sekaligus membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pada bagian terakhir, lembaga pembakuan kata hendaknyalah lebih menjaga keteraturan dalam pembakuan kata maupun pembentukannya.