Selasa, 26 Oktober 2010

Data Isian Identitas Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Jawa

Yth. Bapak/Ibu Mahasiswa Program Pendidikan Bahasa Jawa
Pascasarjana UNS
di Surakarta

Dengan hormat,
mohon untuk mengisi blangko data identitas berikut. Tujuannya adalah untuk efisiensi waktu sehingga pada saat persemukaan berikutnya buku Angkatan kita sudah selesai. Saya tidak perlu lagi mengetik ulang. dimohon mengunduh (dengan cara potong dan tempel pada word blangko berikut) kemudian diisi dan dikirim via surat elektronik (e-mail) ke alamat rachmawan_arif@yahoo.com. mohon data diri sudah di kirim selambat-lambatnya Jumat, 29 Oktober 2010. Terima kasih.

Daftar Riwayat Hidup
Mahasiswa Program Pascasarjana Minat Utama Pendidikan Bahasa Jawa
Program Pendidikan Bahasa Indinesia Universitas Sebelas Maret
Tahun Akademik 2010/2011
1. Idenditas Diri
Nama :_______________________________________________
NIM : _______________________________________________
TTL : _______________________________________________
Agama : _______________________________________________
Status : _______________________________________________
Alamat : _______________________________________________
No. Telp./HP : _______________________________________________
Pekerjaan : _______________________________________________
Moto Hidup : _______________________________________________
Kutipan Favorit : _______________________________________________

2. Instansi/Tempat Bekerja
Jenis Pekerjaan : _______________________________________________
Jabatan : _______________________________________________
Nama Lembaga : _______________________________________________
Alamat Kantor : _______________________________________________
Nomor Telp. : _______________________________________________

3. Riwayat Pendidikan S1
Universitas : _______________________________________________
Alamat : _______________________________________________
Fakultas : _______________________________________________
Jurusan : _______________________________________________
Program Studi : _______________________________________________
Lulus tahun :

4. Kegiatan/pengalaman Organisasi
____________________________________________________________
5. Pengalaman lain/Prestasi/buku yang telah diterbitkan/lain-lain yang dipandang perlu.
____________________________________________________________
____________________________________________________________

Jumat, 22 Oktober 2010

Konsep Kekuasaan Jawa

A. Konsep Budaya Jawa
1. Pengertian Budaya
Manusia sebagai makhluk individu dan sosial selalu tidak akan pernah bisa lepas dari perubahan dan interaksi antarmanusia. Perubahan dan interaksi itulah yang akan membentuk sebuah budaya. Budaya sebagai sebuah proses kreatif manusia akan selalu berkembang seiring waktu.
Telah banyak pendapat pakar yang menjelaskan pengertian budaya. Imam Sutardjo mengatakan telah ada lebih dari 150 definisi (2008: 10). Namun demikian, pengertian tersebut pada hakikatnya akan mengerucut pada esensi yang sama. Clifford Geertz via Imam Sutardjo membatasi kebudayaan sebagai sebuah pengetahuan manusia yang meliputi perasaan sebagai sebuah dasar untuk menilai sesuatu (2008: 11). Masih dalam Imam Sutardjo, Koentjaraningrat dan Zoutmulder berpendapat bahwa budaya berasal dari kata budi dan daya yang bermakna keseluruhan buah budi dan akal manusia dalam menanggapi lingkungan sekitar (2008: 12)
Senada dengan pendapat tersebut, Budiono Herusatoto (2008: 8-9) mendefinisikan budaya berasal dari jarwa dhosok budi dan daya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kata budaya secara etimologis berasal dari kata budi dan daya yang berarti bahwa kebudayaan merupakan buah budi, akal dan pikiran manusia dalam menanggapi perubahan lingkungan sekitarnya. Dengan kebudayaan ini akan membuat hidup manusia menjadi lebih mudah dan lebih hidup.
Kebudayaan akan selalu melekat pada suatu komunitas masyarakat tertentu. Sebagaimana itu pula, manusia Jawa juga memiliki kebudayaan yang tersendiri dan unik. Kebudayaan Jawa yang adiluhung patut untuk dilestarikan dan diteladani. Adapun fokus kajian dalam makalah ini adalah kebudayaan Jawa dalam segi konsep kekuasaan Jawa. Hal ini disebabkan kebudayaan memiliki cakupan yang cukup luas sehingga tidak memungkin untuk dikaji secara keseluruhan.

2. Wujud Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitet, dan Kebudayan, wujud kebudayaan memiliki paling tidak tiga bentuk, yaitu:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dan ide-ide, nilai-nilai, gagasan-gagasan, norma-norma, dan sebagainya. Wujud ini berada pada alam pikiran manusia maupun tulisan-tulisan.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini berupa sistem sosial dalam masyarakat.
c. Wujud kebudyaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini berupa kebudayaan fisik secara nyata (artefak).
Selanjutnya, Kontjaraningrat menganalisis isi dari sebuah kebudayaan terbentuk atas tujuh unsur universal. Tujuh isi yang selanjutnya disebut sebagai unsur universal tersebut adalah:
a. Sistem religi dan upacara keagamaan
b. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
c. Sistem pengetahuan
d. Bahasa
e. Kesenian
f. Sistem mata pencaharian hidup
g. Sistem teknologi dan peralatan
(Budiono Herusatoto, 2008: 11-12)

3. Simbolisme sebagai Media Budaya Jawa
Orang Jawa sangat memegang teguh simbol-simbol pada setiap aktivitasnya. Hal inilah yang agaknya menjadi ciri pembeda kebudayaan Jawa dengan kebudayaan yang lain. Kita bisa melihat bahwa pada setiap perilaku orang Jawa selalu tidak akan pernah lepas dari simbol-simbol. Berangkat dari inilah, simbol menempati peran penting sebagai media kebudayaan Jawa.
Media berarti bahan atau material yang dipakai sebagai perantara. Budaya sebagai sebuah hasil karya manusia memerlukan media sebagai alat penghantarnya. Alat penghantar budaya manusia dapat berbentuk bahasa, benda, warna, suara, atau perbuatan sebagai simbol-simbol budaya (Budiono Herusatoto, 2008: 137).
Budaya jawa yang sangat adiluhung dan edipeni selalu memliki kembang atau lambang dan sinamun ing samudana atau tersembunyi dalam perlambang tersebut. Sebagai contoh adalah bentuk imperative nglulu dalam aktivitas berbahasa masyarakat Jawa. Orang yang sudah dilulu harus segara merespons dengan baik karena dalam kalimat tersebut terblesit makna yang berlawanan dengan kata yang diucapkan. Imperatif ini bersifat antifrase maksudnya berlawanan antara arti dan maksud (Imam Sutardjo, 2006: 65). Hal ini membuktikan bahwa budaya pralambang selalu ada dalam masyarakat Jawa. Perlambang ini perlu dimaknai dengan perasaan yang mendalam agar maksud yang terkandung di dalamnya dapat tersampaikan dengan baik. Sebagaimana prinsip orang Jawa yang harus tanggap ing sasmita lan ngerti ing semu, pemaknaan hal-hal yang bersifat kias menjadi bagian yang sangat penting bagi setiap individu Jawa.
Orang Jawa sangat memegang teguh perasaan atau aspek intuitif di samping akal yang sering disebut sebagai cipta, rasa dan karsa. Hal inilah yang agaknya menyebabkan orang asing memiliki kesan ramah, baik hati, sopan dan santun terhadap masyarakat Jawa. Hal ini tidaklah salah karena orang Jawa sangat memegang simbol-simbol atau perlambang. Namun demikian hal inilah yang menyebabkan sulitnya untuk ditebak sikap dan perilaku orang Jawa jika tanpa kepekaan intuisi yang baik. Terkadang sikap yang baik justru berakibat buruk jika tidak dimaknai dengan sebenarnya.
Beberapa contoh yang dapat diungkapkan sebagai bentuk penggambaran penggunaan simbol pada masyarakat Jawa diantaranya adalah peralatan sesaji yang setiap bagiannya memiliki makna tertentu. Di samping itu, penggunaan sengkalan sebagai penanda waktu dalam mengingat suatu peristiwa juga mempergunakan simbol-simbol tertentu. Pada konsep bangunan, pemujaan, kematian, kelahiran dan sebagainya juga tidak terlepas dari simbol-simbol yang penuh makna. Secara singkatnya, setiap aktivitas dan sendi-sendi kehidupan masyarakat Jawa tidak akan pernah lepas dari simbol-simbol.
Berdasar uraian dan beberapa contoh di atas dapat disimpulkan bahwa simbolisme menempati bagian yang sangat penting dalam kebudayaan Jawa. Simbolisme dipakai sebagai alat perantara atau media untuk menggambarkan atau menguraikan sesuatu.

B. Konsep Kekuasaan Jawa
1. Sistem Politik Patrimonial
Dalam konsep kekuasaan Jawa, dikenal sistem politik Patrimonial. Sistem patrimonial artinya sistem pewarisan berdasarkan garis keturanan ayah. Dengan demikian, pewarisan kekuasaan yang ada pada masyarakat Jawa didasarkan pada garis keturunan ayah bukan ibu. Posisi kamu lelaki menjadi bagian yang sangat penting dalam pengambilan keputusan maupun pewarisan tahta. Kaum wanita hanyalah sebagai bagian di bawah lelaki. Dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan sebutan kanca wingking atau teman belakang. Kedudukan wanita tidak lebih sekadar sebagai peran tambahan. Segala pewarisan sangat bergantung pada kaum lelaki.
Seorang laki-laki sangat berkuasa dalam rumah tangga dan dalam konteks lebih luas dalam sistem sebuah kerajaan. Bahkan seorang wanita dapat dinikahi dengan simbol keris. Hal itu pun tidak berarti bahwa seorang wanita menjadi isteri yang sah. Pernikahan secara simbolis itu hanyalah sebagai bentuk pengakuan anak sebagai keturunan sang ayah. Sehingga kelak sang anak berhak mendapat warisan dari sang ayah termasuk gelar kebangsawanan. Berdasar itulah, yang menentukan status anak bukanlah berasal dari ibu mealinkan dari sang ayah. Seorang putri bangsawan sekalipun jika hanya dijadikan sebagai selir, kebangsawanan anaknya bukan karena kebangsawanan ibu melainkan karena ayahmya (Moedjanto, 2002: 129). Berdasar uraian dan contoh itulah, system kekuasaan Jawa sangatlah menganut paham patrimonial.
Pada dasarnya konsep kekuasaan yang bersifat patrimonial ini terbentuk dari sifat primus interpares atau orang pertama yang paling pandai dan menjadi sesepuh desa. Dalam hal ini masih belum terbentuk sistem kerajaan. Namun setelah terbentuk sitem kerajaan, barulah kekuasaan itu berada di tangan seorang raja yang biasanya bersifat absolut.

2. Konsep Keagungbinatharaan
Kekuasaan raja-raja Jawa pada dasarnya bersifat absolut dan menganut sistem patrimonial sebagaimana yang telah dibahas pada subbab sebelumnya. Kekuasaan raja-raja Jawa bersifat absolut artinya kekuasaan yang bersifat mutlak tanpa batas. Kekuasaan raja meliputi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Hal inilah yang terkadang membuat raja-raja Jawa menjadi tiran.
Konsep kekuasaan raja begitu kompleks dan besar. Rakyat mengakui raja sebagai pemilik segala sesuatu, baik harta benda maupun jiwa manusia. Raja berhak menentukan hidup dan mati seseorang. Pada akhirnya rakyat sebagai posisi lemah selalu berprinsip nderek kersa dalem atau ikut kemauan raja (Moedjanto, 2002: 77).
Beberapa prinsip dan batasan kekuasaan raja di antara adalah:
a. Wenang wisesa sanagari
Wenang wisesa sanagari dapat diartikan bahwa raja memiliki kekuasaan dan kewenangan atas seluruh isi negara. Seluruh isi negara adalah milik raja dan di tangannyalah segala keputusan.
b. Agung binathara
Konsep agung binethara sebagai bagian paling utama dalam konsep kekuasaan raja Jawa diartikan bahwa raja bersifat agung dan laksana seorang dewa. Raja diibaratkan sebagai manifestasi Tuhan. Diaalah maujud Tuhan atau secara eksplisit adalah Tuhan dalam bentuk yang nyata. Bahkan dala beberapa kitab disebutkan bahwa raja sebagai wakil nabi dan wakil Tuhan. Nabi dan raja tiadalah berbeda. Ini membuktikan bahwa posisi raja sangatlah tinggi.
c. Bau dhenda hanyakrawati
Bau dhenda hanyakrawati artinya seorang raja adalah pemelihara hukum dan penguasa dunia. Senada dengan konsep agung binathara, batasan kekuasaan raja ini juga menunjukkan bahwa raja berwenang atas segala-galanya. Ia merupakan pemegang hukum, berhak memutuskan segala perkara dan memberikan ganjaran baik hadiah maupun hukuman kepada rakyatnya. Selian itu ia juga penguasa dunia. Inilah doktrin kekuasaan raja.
d. Ber budi bawa leksana
Setelah hak-hak yang ada diri raja sebagaimana tertuang pada konsep a sampai dengan konsep c di atas, seorang raja juga memiliki kewajiban ber budi bawa laksana yang berarti meluap keluhuran dan budi pekertinya. Hal ini uga dapat diartikan sebagai sebuah legitimasi bagi seorang raja bahwa raja pastilah luber baik budi pekertinya.
e. Ambeg adil paramarta
Kewajiban lain seorang raja adalah harus adil dan penuh kasih terhadap seluruh rakyatnya. Walaupun seorang raja memiliki kekuasaan yang tiada batas, namun raja harus tetap bersika adil dan penuh kasih.
f. Anjaga tata titi tentreming praja.
Kewajiban selanjutnya adalah anjaga tata titi tentreming praja. Kewajiban ini dapat diartikan bahwa seorang raja harus menjaga ketentraman, kemakmuran dan tata aturan yang ada di bawah kekuasaanya.
g. Sabda brahmana raja datan keno wola-wali
Sebagai bentuk konsistensi seorang raja, segala perkataan raja tidak boleh berubah-ubah. Segala keputusan raja tidaklah boleh terpengaruh oleh orang lain. Bahkan dalam pewayangan sabda seorang raja diibaratkan we kresno kang tumetes ing dlancang seto. Hal ini berarti keputusan raja sudah bulat ibarat tinta hitam yang menetes pada kertas putih sehingga sulit untuk diubah. Konsep ini yang membuat raja menjadi berwibawa dan kukuh dalam mengambil kebijakan.
Seorang raja dikatakan baik jika mampu menyeimbangkan antara hak dan kewajibannya. Keduanya memiliki tataran yang sama tingginya. Kekuasaan yang besar dan kewajiban yang seimbang pula merupakan isi dari konsep kekuasaan Jawa yang disebut sebagai agung binethara (Moedjanto: 2002: 78). Dalam pewayangan digambarkan sebuah kerajaan yang besar aadalah negara yang apanjang punjung pasir wukir loh jinawi kerta tata raharja. Panjang pocapane punjung luhur kewajibane. Konsep berarti dalam neagra tersebut terdapat raja yang tidak akan habis dibahas segala kebaikannya, luhur kewibawaannya, aman tenteram dan damai kerajaanya. Raja yang besar adalah raja yang memiliki kewibawaan, kekayaan yang melimpah, banyak prajuritnya, banyak memiliki raja-raja takklukkan sehingga selalu mendapat upeti. Di lain pihak raja selalu adil dalam membrikan keputusan dan ganjaran kepada rakyatnya.
Berikut beberapa tanda kekuasaan raja Jawa menurut Moedjanto (1990: 104):
a. Luas wilayah kerajaanya,
b. Luasnya atau banyaknya raja taklukkan dan berbagai barang persembahan yang disampaikan oleh raja taklukan,
c. Kesetiaan para punggawa dan kehadiran mereka dalam paseban yang digelar pada waktu-waktu tertentu,
d. Kemeriahan upacara kerajaan dan perlengkapan upacara/pusaka dalam upacara tersebut,
e. Besarnya bala tentara dan perlengkapan perangnya,
f. Kekayaan, gelar-gelar yang disandangnya dan kemasyhurannya,
g. Seluruh kekuasaan menjadi satu di tangannya tanpa ada yang menandingi.
Selanjutnya masih dalam Moedjanto (2002: 86-90) disebutkan bahwa konsepsi kekuasaan Jawa masih terus dipertahankan dan dijaga. Dalam kutipan tersebut dikhususkan pada kekuasaan raja-raja Mataram.namun demikian, masih gayut jika dikaitkan dengan kekuasaan raja Jawa secara umum. Usaha penguatan dan pemertahanan kekuasaan raja ditunjukkan dengan cara;
a. Silsilah yang disusun atas dasar pemberitaan dalam babad. Dalam hal ini sangat tampak bahwa prinsip trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih sangat dijaga oleh para penguasa Jawa.konsep ini berarti bahwa orang-orang yang menduduki jabatan atau kekuasaan tertentu haruslah memiliki syarat asal-muasal orang tuanya.
b. Mengumpulkan dan memusatkan kekuasaan pada satu tangan. Dengan cara ini sangatlah jelas bahwa legitimasi kekuasaan hanya ada di tangan raja.
c. Pengawasan secara ketat terhadap bupati dan punggawa bawahannya. Dengan demikian diharapkan dapat memperkecil ruang gerak para pemberontak dan sekaligus pemusatan kekuatan.
d. Pembinaan kekuatan militer dan penaklukkan daerah
e. Mengembangkan kebudayaan keraton. Kebudayaan keraton secara tidak lansung akan memberikan legitimasi kepada raja sehingga kekuasaan raja akan tetap terjaga.
f. Mengumpulkan pusaka sebagai kasekten dan sumber keselamatan.

3. Ideologi Pemimpin Jawa
Selain konsep keagungbinatharaan sebagaimana yang telah dijelas di atas. Masyarakat Jawa memandang bahwa seorang pemimpin juga harus memiliki beberapa pegangan. Salah satunya adalah termaktub dalam ajaran kisah Patih Rajasakapa kepada Raja Cingkaradewa tentang lima ajaran pegangan utama seorang pemimpin Jawa (Suwardi Endraswara, 2006: 171-173). Pegangan seorang pemimpin Jawa dijabarkan sebagai berikut.
a. Pemimpin harus menyingkiri nafsu pancadriya seperti cengil (menyengsarakan orang lain), panasten (mudah emosi), kemeren (iri hati), dahwen (mencampuri urusan orang lain), dan gething (benci kepada orang lain).
b. Pemimpin harus patuh kepada raja yang ada dalam dirinya sendiri yaitu hati. Hati sebagai penentu segala kebijakan seorang raja. Seorang raja yang bijak harus mengembalikan segala tindakannya kepada hati nuraninya. Sifat yang perlu dihindari adalah sifat kumingsun (jumawa) dan pengambilan kepetusan secara grusa-grusu (sekehendaknya) karena sifat tersebut jauh dari landasan hati nurani.
c. Selalu bertindak dengan laku hening (kejernihan lahir dan batin), heneng (penuh pertimbangan), hawas (waspada), eling (ingat pada Tuhan), dan wicaksana (bijaksana).
d. Pemimpin harus taat kepada nasihat guru
e. Pemimpin harus mengasihi terhadap sesama.
Berdasarkan lima pijakan utama tersebut, seorang pemimpin dapat merefleksikan diri. Pada akhirnya prinsip mawas diri menjadi bagian yang penting pula dalam segala evaluasi kebijakannya. Dalam kaitan ini orang Jawa memiliki tiga falsafah yaitu sikap rumangsa handarbeni, wani hangungkrebi, mulat sarira hangrasa wani. Artinya, memiliki perasaan memiliki, berani membela negaranya dan mau bersikap mawas diri.
Selain pegangan yang telah dijelaskan, ada pegangan lain yang perlu dimiliki seorang pemimpin Jawa. Pegangan itu tersirat dalam mantra Rajah Kalacakra. Disebutkan Suwardi Endraswara (2006: 176) bahwa raja yang mampu mengaktualisasikan rajah Kalacakra tersebut akan mampu menyesuaikan dan mengatasi gejolak zaman. Lirik mantra tersebut berbunyi:
a. Ya maraja jara maya, artinya seorang pemimpin harus mampu menguasai berbagai hal yang tidak kelihatan.
b. Ya marani nira maya, artinya dalam mendekatai hal-hal yang bersifat maya tersebut harus hati-hati.
c. Ya silapa pala siya, artinya pemimpin harus berani menindak tegas siapa saja yang berbuat jahat.
d. Ya midora rado miya, artinya pemimpin harus memperhatikan orang-orang miskin di negaranya.
e. Ya dayuda dayu daya, artinya pemimpin harus mengatur strategi bila marabahaya mengancam.
f. Ya midosa sado miya, artinya pemimpin sebaiknya membebaskan rakyat dari perbuatan dosa.
Pemimpin Jawa yang ideal memiliki lima belas sifat jika merunut dalam Serat Negarakertagama yang mengisahkan lima belas sifat Patih Gadjah Mada. Sifat patih ini patut diteladani oleh setiap pemimpin Jawa. Kelima belas sifat tersebut adalah, (1) bijaksana dalam memerintah, (2) pembela negara yang berani karena benar, (3) bijaksana dalam sikap dan tindakan, (4) menjunjung tinggi segala amanah yang diserahkan kepadanya, (5) bersikap setia dengan hati yang tulus ikhlas kepada negaranya, (6) pandai berpidato dan mempengaruhi orang lain, (7) berwatak rendah hati, berbudi baik, p[enyabar, (8) rajin bekerja dan sungguh-sungguh, (9) selalu tampak gembira dalam setiap keadaan, (10) mau mendengarkan pendapat orang lain, (11) tidak memiliki pamrih, (12) menyanyangi seluruh dunia dan seisinya, (13) mengerjakan yang baik dan membuang yang bururk, (14) menjadi abdinegara yang baik, (15) bertindak memusnahkan musuh.
Sejalan dengan hal tersebut, menuurt KGPAA Mangku Negara IV, kewajiban pemimpin ada enam yang harus ditaati. Keenam hal itu adalah (1) mengikuti upaya dan usaha manusia dengan penuh tanggung jawab, (2) menjalankan tugas dengan sepenuh hati, (3) membantu kesejahteraan negara dengan sekuat tenaga dan semampunya, (4) berhati-hati dalam segala tindakan, (5) ikut menjaga dan mempertahankan negara dengan sepenuh hati. (6) selalu mengetahui kesulitan rakyat banyak.
Adapun larangan bagi seorang pemimpin Jawa di antaranya; (1) aja akarya giyuh, jangan sampai membuat kerusuhan, (2) aja akarya isin, pemimpin jangan membuat malu bagi dirinya sendiri, (3) aja rusuh ing pangrengkuh artinya pemimpin diharapkan jangan sampai membuat resah rakyatnya, (4) aja mrih pihala artinya jangan berbuat hal-hal yang tidak terpuji, (5) aja kardi nepsu artinya pemimpin tidak boleh memperturutkan hawa nafsu.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, pada umumnya sifat-sifat pemimpin Jawa merujuk pada hal sama. Secara global dapat disimpulkan bahwa ideologi pemimpin Jawa yang baik adalah pemimpin harus menjadi sumber 3K, yaitu Kasenengan, Kasugihan, dan Katentraman. Ketiga hal tersebut artinya kebahagiaan, kekayaan, dan ketentraman bagi rakyatnya. Ketiga hal itu harus dimiliki dalam diri seorang raja. Ketiga hal tersebut akan terwujud apabila seorang raja mematuhi beberapa pegangan yang telah dijelaskan di atas.
Salah satu ajaran yang baik dan perlu dipelajari seorang raja adalah kitab Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating diyu. Kisah ini diambil dari kisah pewayangan dalam petikan lakon Ramayana, yaitu fragmen Dewi Sukesi yang meminta menterjemahan kitab tersebut bagi siapa saja yang hendak menikahinya. Kitab tersebut ini akhirnya dapat dibedah oleh Begawan Wisrawa. Kitab ini memuat ajaran tentang takhta. Sastra berarti kitab, hajendra berarti raja, hayuningrat berarti keselamatan dunia sedangkan pangruwating diyu berarti menghancurkan hawa nafsu. Kita ini bermakna jika pemimpin atau raja berpegang pada ilmu rahasia yaitu mampu menumpas angkara murka maka negara akan selamat. Dengan demikian seorang raja akan dalam membuat negaranya menjadi tentram, adil dan makmur tentu harus berpegang pula dengan kitab ini.
Isi kitab tersebut diantaranya adalah, (1) ngelmu wewadining bumi kang sinengker Hyang Jagad Pratingkah artinya ilmu rahasia tentang alam semesta yang berasal dari Tuhan, (2) pangruwating barang kalir, membebaskan segala nafsu angkara murka dan (3) kawruh tan wonten malih, artinya ilmu yang sempurna.
Berdasarkan beberapa teori tersebut, dapat diketahui bahwa kategori pemimpin Jawa terdapat tiga jenis yaitu tingkatan nistha, madya dan utama. Tiga tingkatan ini dapat dilihat dalam Babad Tanah Jawa (Suwardi Endraswara, 2006: 188). Pemimpin yang nistha memiliki watak angkara murka sedangkan pemimpin yang madya atau tengahan bercirikan dua hal yaitu mau memberikan sebahagian rejekinya kepada rakyat dan bersikap adil. Namun, kedua kategori tersebut masih berada di bawah kategori paling tinggi yaitu pemimpin yang utama yang memiliki sifat ber budi bawa laksana. Bagian ini telah dijelaskan pada subbab sebelumnya.
Simpulan akhirnya adalah konsep pemimpin Jawa memiliki sifat yang sangat kompleks. Seorang pemimpin Jawa memiliki sifat sangat absolut. Raja sebagai manisfestasi pemimpin Jawa memiliki hak yang mutlak tetapi tidak hanya itu ia juga memiliki kewajiban yang sangat tinggi. Hak dan kewajiban tersebut dideskripsikan dengan konsep agung binethara, bau dhenda hanyakrawati, ambeg adil paramarta, miwah ber budi bawa laksana.

Kamis, 14 Oktober 2010

Aja Dumeh













AJA DUMEH
Aja dumeh merupakan pedoman mawas diri orang Jawabilamana engkau dikaruniai sesuatu kelebihan apa sajajanganlah engkau sombong, congkak, takabur, dan lobaserta janganlah lupa terhadap asal-usul dan di sekitar kitaharus senantiasa sadar bahwa kelebihanmu itu anamah sajadan tidak mustahil juga jerih payah orang di sekitar kitaoleh karenanya janganlah engkau melupakan jasa

Rabu, 13 Oktober 2010

Cupu Manik Hastha Gina

 









CUPU MANIK HASTHA GINA
Inilah rahasia ilmu Cupu Manik Hastha GinaSabda wejangan Batara Surya kepada kekasih tercintaDewi Windardi tatkala di pagi sedang bermandi cahayadi sebuah pedepokan Grastina lereng Gunung Sekendrameski sang dewi telah menjadi istri sah Resi Gotamameski dia telah beranak Anjani, Guwarsi, dan Guwarsatetap Batara Surya memberinya Cupu Manik Hastha Ginailmu laku bagi

Minggu, 10 Oktober 2010

Tembang Ilir-Ilir


TEMBANG ILIR-ILIR
Ilir ilir lir ilirtandure wis sumilirTak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyarCah angon, cah angon,penekna blimbing kuwi,Lunyu-lunyu penekenkanggo masuh dodotira,Dodotira kumitir bedhah pinggiredondomana, jlumatana,kanggo seba mengko soreMumpung gedhe rembulaneMumpung jembar kalanganeHa suraka … surak … hore…
          Konon kabarnya, “Tembang Ilir-ilir” diciptakan oleh

Jumat, 08 Oktober 2010

SASTRA JENDRA

 Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Sastra Jendra. Secara lengkap disebut Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwatingdiyu. Sastra Jendra adalah ilmu mengenai raja agung binatara (raja yang besar kekuasaannya layaknya dewata). Hayuningrat artinya kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan dunia. Pangruwating adalah pembebasan atau pelepasan, artinya memuliakan atau

Kamis, 07 Oktober 2010

Sri Mangkunegara IV


TRIPAMA
Sri Mangkunegara IV

1. Yogyanira kang para prajurit
lamun bisa sira anuladha
duk inguni caritane
andelira sang prabu
Sasrabahu ing Maespati
aran patih Suwanda
lelabuhanipun
kang ginelung tri prakara
guna kaya purun ingkang den antepi
nuhoni trah utama.

2 Lire

R.Ng. Ranggawarsita


@font-face {
font-family: "Trebuchet MS";
}p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal { margin: 0in 0in 0.0001pt; font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman"; }p.MsoFooter, li.MsoFooter, div.MsoFooter { margin: 0in 0in 0.0001pt; font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman"; }p.MsoBodyText, li.MsoBodyText, div.MsoBodyText { margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; line-height:

Rabu, 06 Oktober 2010

Hastha Brata 2

 HASTHA BRATA 2
(WAHYU MAHKOTARAMA)

Alkisah ksatria panengah Pandawa, Raden Arjuna
pada saat mendapatkan wahyu mahkotarama
sabda wejangan Begawan Kesawasidhi namanya
dari Padepokan Kutharunggu di negeri Singgelapura.

Apa sebenarnya makna wahyu mahkotarama
wahyu sebagai anugerah Tuhan yang Mahakuasa
mahkotarama adalah mahkota yang dipakai Ramawijaya
raja agung bhinatara di negeri

Hastha Brata 1

 










HASTHA BRATA 1

Seusai perang besar di negeri Alengka
kini tibalah saatnya Ramawijaya
menobatkan Wibisana sebagai raja
menggantikan kakanda Prabu Rahwana.

Wibisana diminta Prabu Ramawijaya
memulihkan kembali wibawa negeri Alengka
yang telah hancur karena perbuatan Rahwana
agar rakyat kembali hidup sejahtera dan bahagia.

Semasa Alengka dibawah kekuasaan Rahwana
rakyat hidup menderita

Sabtu, 02 Oktober 2010

Panca Titi Darma


PANCA TITI DARMA

Apa makna panca titi darma
adalah lima watak utama penguasa
teladan politik kebangsaan patih Gajah Mada
semasa zaman Majapahit beliau berkuasa.

Watak pertama, handayani hanyakra purana
penguasa senantiasa mendorong bagi yang muda
beribadah, berkarya, dan mencapai cita-cita mulia
melangkah ke masa depan tanpa ragu-ragu jua.

Watak kedua, madya hanyakra pangaribawa
penguasa

Jumat, 01 Oktober 2010

Kekasihku 2

KEKASIHKU 2
Walau Engkau sudah dekat di hati
lebih dekat daripada urat nadi
bersinggasana di tahta suci
pusat hidup hati sanubari
tetap saja susah dicari
ke mana aku mencari
dia kekasihku abadi
kekasih nan sejati
sungguh suci
sang Ilahi.
Bekasi, 2 Oktober 2010

Kekasihku

KEKASIHKU

Kekasihku,
sejak dahulu aku mencarimu
ingin sekali aku bertemu
hingga kini tetap menunggu
selalu dan selalu kumerindu.

Kekasihku,
di mana tempat tinggalmu
di mana, di manakah Engkau
janganlah Engkau meninggalkan daku
walau waktu terus berlalu
aku akan tetap mencarimu
hingga suatu saat kita bertemu.
Bekasi, 2 Oktober 2010