Minggu, 23 Mei 2010

DEIKSIS DALAM RUBRIK PERSPEKTIF MAJALAH GATRA EDISI 21 FEBRUARI SAMPAI DENGAN 19 MARET 2008

DEIKSIS DALAM RUBRIK PERSPEKTIF MAJALAH GATRA EDISI 21 FEBRUARI SAMPAI DENGAN 19 MARET 2008

Oleh
Arief Rahmawan

ABSTRAK
Bahasa yang digunakan media cetak adalah bahasa tulis jurnalistik yang memiliki aturan-aturan tersendiri. Suatu wacana dalam media cetak disusun karena adanya suatu tujuan atau pesan yang ingin disampaikan. Gatra adalah salah satu media cetak yang menyoroti masalah pemerintahan dan perekonomian yang sedang berlangsung di Indonesia. Salah satu rubriknya, yaitu perspektif berisi tentang pendapat pakar mengenai fenomena tertentu yang sedang menarik untuk dikaji. Di dalam rubrik ini terdapat deiksis yang memiliki fungsi untuk mengemas bahasa dan kalimat agar lebih efektif dan efisien. Deiksis ini terjadi karena adanya penggantian konteks. Selanjutnya, deiksis yang sering muncul di dalam rubrik ini berupa deiksis persona, deiksis ruang, deiksis waktu, dan deiksis wacana. Adapun deiksis sosial tidak ditemukan di dalam rubrik perspektif karena sifat bahasa jurnalistik yang objektif dan netral.

Kata kunci: media cetak, majalah Gatra, rubrik Perspektif, deiksis.

Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi. Sri Utari Subyakto-Nababan (1993:1) berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah untuk komunikasi, yaitu alat pergaulan dan berhubungan dengan sesama manusia sehingga terbentuk suatu sistem sosial atau masyarakat. Untuk keperluan berkomunikasi tersebut, bahasa dapat berupa bahasa lisan dalam bentuk ujaran dan bahasa tulis dalam bentuk kalimat. Wahyu Wibowo (2001: 57) mengungkapkan bahwa bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga bisa dipakai sebagai alat komunikasi, sedangkan kata itu sendiri merupakan bagian integral dari simbol yang dipakai oleh kelompok masyarakatnya.
Fungsi bahasa sebagai komunikasi tersebut tentu tidak lepas dari peran deiksis yang berfungsi sebagai pengemas bahasa yang efektif dan efisien. Deiksis merupakan suatu cara untuk mengacu ke hakikat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya bisa ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan (Bambang Yudi Cahyono, 1995: 217). Kalau salah satu segi makna dari kata atau kalimat itu berganti karena penggantian konteks, kata atau kalimat itu mempunyai makna deiksis. Dalam sebuah tulisan atau karangan hampir sebagian besar mengandung deiksis. Deiksis ini muncul di dalam sebuah wacana.
Sebagaimana deiksis yang muncul di setiap wacana, dalam majalah Gatra yang notabene menggunakan bahasa jurnalistik yang menganut prinsip ekonomi, yaitu teks atau wacana itu harus disajikan dalam bentuk yang singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya.
Majalah Gatra merupakan sebuah media komunikasi tertulis yang di dalamnya banyak memuat tulisan dan paparan tentang situsi dan kondisi bangsa. Hingga sampai ke tangan pembaca, tentunya majalah ini harus melalui beberapa proses dan tahap pengemasan dari segi bahasa maupun tampilan. Deiksis atau yang biasa disebut dengan kata ganti, yang terdiri dari deiksis orang, tempat, waktu, wacana dan sosial (Nababan 1987: 40-41) tentu sangat diperhatikan penggunaannya dalam menulis apa yang akhirnya tersaji dalam majalah Gatra ini.
Majalah Gatra menghadirkan beberapa rubrik yang dikemas secara apik. Salah satunya adalah rubrik perspektif, yang di setiap edisinya menampilkan topik yang berbeda yang berisi pandangan dari seorang pakar terhadap suatu fenomena tertentu. Rubrik perspektif ini membahas fenomena aktual berdasarkan pengamatan pakar-pakar yang sesuai dengan bidang-bidangnya. Rubrik ini banyak mengandung deiksis sebagai upaya penulis untuk menghemat kata, efektivitas dan efisienitas bahasa yang digunakan. Dieksis dalam rubrik ini perlu dikaji secara pragmatik agar diperoleh pengetahuan tentang deiksis dalam sebuah wacana publik.
Bertolak dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, penulis membahas lebih lanjut mengenai jenis-jenis deiksis yang terdapat dalam rubrik Perspektif majalah Gatra edisi 21 Februari sampai dengan 19 Maret 2008 yang mencakup empat edisi. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan jenis-jenis deiksis yang terdapat di dalam majalah Gatra yang direpresentasikan melalui rubrik Perspektif.

Kajian Teori
Salah satu kajian di dalam ilmu pragmatik adalah deiksis. Deiksis menurut Nababan (1987: 19) adalah kata atau frase yang menghunjuk kepada kata, frase, atau ungkapan yang telah dipakai atau yang akan diberikan. Pusat orientasi deiksis adalah pembicara yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri. Sarwidji Suwandi, Budhi Setiawan dan Raheni Suhita (1996:25) mengemukakan bahwa deiksis yang berasal dari kata Yunani deiktikos adalah suatu kata yang memiliki referen yang hanya dapat diidentifikasikan dengan memperhatikan identitas si pembicara serta saat dan tempat diutarakannya tuturan yang mengandung unsur yang bersangkutan. Pendapat ini memberikan penekanan terhadap pendapat yang disampaikan oleh Bambang Budi Cahyono (1995:217) yang membatasi deiksis sebagai suatu cara untuk mengacu kepada hakikat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi oleh konteks. Hal ini menunjukkan bahwa kalimat yang mengandung deiksis hanya dapat jelas terpahami apabila lawan tutur memperhatikan konteks atau situasi pembicaraan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Bambang Kaswanti Purwo (1984: 2), kata deiksis berasal dari kata Yunani deiktikos yang berarti hal penunjukkan secara langsung. Pendapat Bambang Kaswanti Purwo ini tidak menyelisihi pendapat yang disampaikan oleh Nababan dan Sarwidji, Budhi Setiawan dan Raheni Suhita. Para pakar ini saling melengkapi pendapat dan tidak menunjukkan perbedaan perspektif. Pendapat Verhaar (2001:397) bahwa deiksis merupakan pronomina yang referennya tergambar dari identitas penutur juga tidak menyelisihi pendapat dari Bambang Yudi Cahyono.
Dari beberapa pendapat pakar pragmatik di atas, pendapat Nababan dan Bambang Yudi Cahyono lebih mudah dipahami. Penulis dapat menyimpulkan bahwa deiksis merupakan kata yang memiliki referen atau merujuk pada suatu kata, frase atau ungkapan tertentu dalam sebuah wacana dan hanya dapat dipahami dengan memperhatikan konteks yang melingkupinya. Dengan kata lain, deiksis merupakan kata ganti untuk hal yang telah atau akan disebutkan. Sebuah kata atau kalimat akan mempunyai makna deiksis apabila kata atau kalimat tersebut mengalami penggantian konteks. Konteks ini dipengaruhi oleh penuturnya dan situasi pembicaraan.
Berdasarkan pendapat Mansoer Pateda (1991: 178), deiksis terdiri dari empat macam, yaitu deiksis persona, deiksis waktu, deiksis ruang dan deiksis sosial. Pendapat Mansoer Pateda ini sejalan dengan Nababan (1987: 40-41) yang mengemukakan bahwa terdapat lima macam deiksis dalam suatu wacana, yaitu deiksis persona, deiksis ruang, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Hanya saja Nababan mencantumkan satu jenis lagi yaitu deiksis sosial. Pendapat lain dikemukakan oleh Lyons (dalam Sarwidji Suwandi, Budhi Setiawan, dan Raheni Suhita, 1996 : 25), kata deiksis untuk menggambarkan fungsi kata ganti persona, kata ganti demonstratif, fungsi waktu, dan bermacam-macam ciri gramatikal dan leksikal
Deiksis persona ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya “saya”, “kita” dan “kami”. Kedua ialah orang yang kedua, yaitu katagori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya “kamu”, “kalian”, “saudara”. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu katagori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya “ia” dan “mereka”.
Berdasarkan pendapat Sarwiji Suwandi, Budhi Setiawan, dan Raheni Suhita (1996: 29) dapat disimpulkan bahwa leksem persona mempunyai sifat khas, yaitu: dapat dirangkai dengan kata ganti demonstratif dan bentuk terikat persona yang berada dalam konstruksi posesif dapat dirangkai dengan kata “ini” atau “itu”. Ciri khas selanjutnya, kata ganti persona dapat direduplikasi dengan tujuan memberi warna emosi. Kata ganti persona tidak dapat direduplikasikan tetapi dapat dirangkai dengan –nya, apabila menjadi topik wacana “mereka” bisa direduplikasikan, hanya kata ganti bentuk “dia” yang dapat dirangkai dengan kata sandang “dia”.
Deiksis ruang merupakan pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Menurut Sarwidji Suwandi, Budhi Setiawan, dan Raheni Suhita (1996 : 31), leksem ruang dalam suatu wacana ada empat jenis yaitu leksem ruang “dekat/ jauh/ tinggi/ pendek”, leksem ruang “kanan” dan “kiri”, leksem ruang “depan” dan “belakang”, dan hal ruang yang ditunjukkan oleh preposisi dapat bersifat statis dan dinamis.
Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Sarwiji Suwandi, Budhi Setiawan, dan Raheni Suhita (1996 : 35) mengatakan, terdapat dua leksem waktu, yaitu leksem waktu yang deiksis dan leksem waktu yang tidak deksis. Leksem waktu dapat bersifat deiksis apabila yang menjadi patokan adalah pembicara. Leksem waktu menjadi tidak deiksis apabila yang menjadi patokan adalah posisi bumi terhadap matahari.
Contoh :
a) Pada malam hari bintang-bintang bersinar terang.
b) Siang nanti saya akan kerumahmu.
Kata malam dalam kalimat pertama bukanlah deiksis, sedangkan kata siang dalam kalimat kedua adalah deiksis.
Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan. Deiksis ini mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukkan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukkan ke sesuatu yang disebut kemudian.
Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam masyarakat Jawa pada umumnya digunakan etiket bahasa, yaitu pemilihan tingkatan bahasa yang menurut kedudukan sosial pembicara, pendengar, atau orang yang dibicarakan. Sebagai contoh, bentuk sapaan yang sepadan dengan “Anda” dapat dinyatakan dengan kowe, sampeyan, panjenengan, yang berentangan dari tingkatan kesopanan berbahasa dari paling rendah hingga paling tinggi.
Selanjutnya, Nababan (1987: 43) juga membedakan dua macam perbedaan deiksis yaitu: (1) antara deiksis sejati dan deiksis tak sejati dan (2) antara deiksis kinesik dan deiksis simbolik. Deiksis sejati adalah kata/frasa yang artinya dapat dijelaskan seluruhnya dengan konsep deiksis. Deiksis tak sejati adalah kata/frasa yang artinya hanya sebagian berupa deiksis dan sebagian fungsinya adalah nondeiksis. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa yang termasuk deiksis sejati adalah kata ganti yang dipakai sebagai kata penunjuk, seperti: itu, ini, engkau, di sini, di situ.
Hal senada sebagaimana yang dijelaskan oleh Nababan, Filmore (dalam Sarwidji Suwandi, Budhi Setiawan, dan Raheni Suhita, 1996: 35) membedakan antara deiksis kinesik dan deiksis simbolik. Penggunaan kata secara deiksis kinesik dapat dipahami dengan pengamatan atau pemantauan gerakan badan dalam tindakan berbahasa itu dengan pendengaran, penglihatan, dan rabaan. Penggunaan kata secara deiksis simbolik memerlukan pengetahuan tentang faktor tempat dan waktu (dan kadang-kadang pula faktor sosial) dari peristiwa berbahasa itu untuk mengetahui maksud suatu kalimat.
Dari beberapa pendapat tentang jenis-jenis deiksis di atas, pendapat dari Nababanlah yang dipandang lebih lengkap dan kompleks. Namun demikian bukan berarti mengesampingkan pendapat lain yang telah dipaparkan. Pada dasarnya pendapat tersebut tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Hanya saja memang terdapat perbedaan dalam istilah maupun sudut pandang di dalam menyoroti deiksis tersebut. Simpulan yang dapat diambil adalah deiksis tediri atas lima macam, yaitu deiksis persona, deiksis ruang, deiksis waktu, deiksis, wacana dan deiksis sosial.
Deiksis selalu digunakan di setiap wacana baik lisan maupun tulis. Hal ini didasarkan pada aspek keefektifan bahasa yang digunakan oleh setiap tindak tutur. Sebagaimana hal tersebut, kajian tulisan ini mendeskripsikan deiksis yang terdapat di dalam media cetak. Media cetak merupakan salah satu bentuk wahana komunikasi yang tidak bisa luput dari kehidupan masyarakat karena peranannya yang sangat vital dalam memenuhi kebutuhan informasi.
Majalah Gatra merupakan majalah aktualitas dan politik yang banyak membahas tentang kehidupan perpolitikan dan perkembangan setiap sisi dan sudut pemerintahan yang sedang berkuasa di negara Indonesia. Gatra adalah sebuah majalah berita mingguan yang diterbitkan di Indonesia sejak tahun 1994. Banyak anggota majalah Tempo yang baru saja dibredel saat itu kemudian menjadi anggota pendiri majalah ini. Didirikan oleh pengusaha yang dekat dengan rezim Orde Baru, Bob Hasan, majalah ini dikenal propemerintah saat pemerintah Orde Baru masih berkuasa. Seperti TEMPO, format sampulnya juga meniru sampul majalah Time dengan garis merah di sepanjang sisi.
Majalah Gatra menghadirkan beberapa rubrik yang dikemas dengan apik. Salah satunya adalah rubrik Perspektif, yang di setiap edisinya menampilkan topik yang berbeda yang berisi pandangan dari seorang pakar terhadap suatu fenomena tertentu. Rubrik Perspektif inilah yang akan dikaji secara pragmatik dengan analisis deiksisnya.Rubrik Perspektif adalah sebuah rubrik yang terdapat di dalam majalah Gatra yang berisikan pendapat para pakar di bidang tertentu yang mengkaji masalah aktual, bernas dan hangat dibicarakan orang pada saat tertentu.

Pembahasan
Bahasa jurnalistik termasuk di dalamnya bahasa yang digunakan dalam majalah dan media cetak lainnya sangat memperhatikan prinsip ekonomi, maksudnya teks atau wacana yang disajikan harus singkat dan jelas tanpa merusak dan mereduksi pesan. Begitu pula bahasa yang digunakan dalam penyajian wacana pada majalah Gatra. Salah satu bentuk penghematan dan efisiensi dalam berbahasa adalah dengan adanya deiksis atau kata ganti. Dalam rubrik perspektif majalah Gatra edisi 21 Februari sampai 19 Maret 2008 yang mencakup empat edisi (Mereboisasi Demokrasi, Kabinet Medioker, Doktor Rendra, Dunia Tanpa Islam) ini ada beberapa penggunaan deiksis. Deiksis yang ditemukan adalah deiksis persona, ruang, waktu, dan wacana. Berikut ini adalah deskripsi hasil analisisnya.



a. Deiksis persona
“Cita-cita demokrasi kita lebih luas,” kata bung Hatta, “tidak saja demokrasi politik, melainkan juga demokrasi ekonomi (Mereboisasi Demokrasi, data no. 1). Kalimat tersebut mengandung deiksis pertama jamak karena menggunakan kata “kita” sebagai kata gantinya. Kata “kita” merupakan kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya. Makna kata “kita” tersebut mewakili penulis yang melibatkan diri dalam warga negara Indonesia, sehingga kata “kita” lah yang digunakan bukan “mereka”. Kasus yang sama juga terjadi pada Dalam hutan itu tersimpan kekayaan nasional, modal nasional kita. Selain itu terdapat juga dalam Kabinet Medioker data no. 4, 6, 9, 11, 12, 15, 16, 17, 18; Doktor Rendra data no. 14; Dunia Tanpa Islam data no. 6, 7, 11.
Berbeda halnya dengan yang dideskripsikan di atas, kalimat Sebagai pelajar politik, sudah lama saya percaya bahwa kesenian mustahil lahir dan berkembang dalam ruang hampa sosial dan politik (Doktor Rendra, data no. 8) menggunakan kata ganti “saya” sehingga merupakan deiksis pertama tunggal. Deiksis sejenis erdapat juga pada Doktor Rendra data no. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9; Dunia Tanpa Islam data no. 1, 3, 5, 8, 12.
Selanjutnya, kalimat Ketika ukuran-ukuran kesejatian, integritas pribadi, atau standar normatif mengalami kerancuan, maka bermuncullanlah manusia-manusia yang mencitrakan dirinya “sejati” (lewat mimbar, panggung, headline surat kabar, atau TV commercials), walau sesungguhnya jika tidak ia “no one”, bisa jadi malah ia tak lebih dari kurcaci (Kabinet Medioker, data no. 7). “nya” dan “ia” merupakan representasi deiksis orang ketiga tunggal. Hal serupa juga ditemukan dalam Mereboisasi Demokrasi data no. 1, 3, 5, 8, , 14, 16; Doktor Rendra data no. 4, 6, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25; Dunia Tanpa Islam data no. 2, 4, 11, 13.
Deiksis orang ketiga jamak pun ada dalam kalimat Ia pun menghadapkan reformasi dengan persoalan kebudayaan yang akut: absennya tempat dan kesempatan bagi masyarakat untuk menyatakan dan merebut kemauan dan kepentingan mereka (Doktor Rendra, data no. 13) dan Alih-alih, ia berkonsentrasi pada pergeseran dan dinamika di level masyarakat, sambil percaya bahwa merekalah sejatinya dan semestinya sumbu perubahan itu. Selain kedua kalimat tersebut masih banyak deiksis orang ketiga jamak yang ditemukan dalam rubrik ini (lihat lampiran). Dari keempat edisi rubrik ini, tidak ditemukan adanya sifat khas leksem persona. Hal ini karena penggunaan sifat khas leksem persona pada umumnya terjadi pada percakapan-percakana sehari-hari yang menggunakan bahasa yang tidak baku.

b. Deiksis ruang
Deiksis yang kedua adalah deiksis ruang. Berdasarkan teori, tidak semua leksem ruang dapat bersifat deiktis. Bentuk-bentuk deiksis ruang yang terdapat dalam rubrik ini ada beberapa macam. Pada kalimat Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat makin tinggi di angan dan terbatas pada harapan serta terfakirkan dalam penerapan (Mereboisasi Demokrasi, data no 1), terdapat leksem ruang bukan verba yang tidak deiksis. Hal ini ditandai dengan adanya kata “tinggi” yang tidak diikuti bentuk persona. Pengertian tinggi pada kalimat tersebut menunjuk sebuah leksem ruang yang tidak jelas tempatnya, namun bisa dipahami oleh pembaca.
Kasus yang sama juga terdapat pada kalimat Manusia dengan karakter dan perilaku yang selalu gagal menunjukkan kesejatiannya, inkapabel, tapi selalu mengharap dihargai setinggi mungkin (Kabinet Medioker, data no 1). Kata “setinggi” merupakan leksem ruang/tempat yang tidak deiksis. Leksem ruang ini sifatnya abstrak, namun bisa dimengerti oleh mitra tutur. Dalam hal ini adalah pembaca. Leksem ruang dekat yang tidak deiksis muncul dalam Tapi perkenalan saya dengan sosok historisnya, dari jarak dekat, terjadi secara sangat terlambat (Doktor Rendra, data no. 2). Kata “dekat” tersebut tidak bersifat deiksis karena tidak diikuti dengan leksem persona. Namundemikian, dalam kalimat Dari dekat, saya menyaksikan Rendra bersusah payah memahami zaman yang tengah berubah, memaknainya, menempatkan diri di dalamnya, dan memainkan peran-peran tertentu (Doktor Rendra, data no. 1), terdapat leksem ruang yang deiksis karena dirangkai dengan leksem persona yaitu “saya”.
Terdapat juga hal ruang yang ditunjukkan oleh preposisi yang bersifat statis dan dinamis. Hal ruang inilah yang ternyata dalam hal pemakaiannya mendominasi rubrik ini. Sebuah wacana terlepas dari apa yang dibahas tidak akan pernah bisa luput dari kata di-, ke-, dari yang pada akhirnya menunjukkan hal ruang. Namun perlu ditekankan di sini bahwa tidak semua kata yang diawali dengan preposisi di-, ke-, dan dari selalu menjadi deiksis. Pada kalimat Demokrasi hijau, dalam hal ini demokrasi ekologis, tidak terbatas pada pemenuhan anasir-anasir formal dan prosedural di atas (Mereboisasi Demokrasi, data no. 6). Kata “di atas” bersifat deiktis karena untuk mengetahui tempat yang dimaksud diperlukan pengertian di mana pembicara menuliskan prosedur demokrasi ekologis dan anasir-anasir formal yang telah dikemukakan sebelumnya. Deiksis ini bersifat statis karena tidak terdapatnya unsur gerakan (diam). Hal yang sama juga ditemukan pada Mereboisasi Demokrasi data no. 2, 3, 4, 5; Kabinet Medioker data no. 2, 3, 4, 5, 6; Doktor Rendra data no. 1, 3, 4, 5, 6; Dunia Tanpa Islam data no. 3, 4, 5, 6, 7, 8.
Selanjutnya pernyataan Yang pelik adalah karena belum sampai akhir 2001 telah muncul kemarahan mendidih orang Islam yang dialamatkan ke bumi Amerika sendiri, dalam reaksi terhadap sejarah dan peristiwa-peristiwa baru-baru ini yang telah menumpuk, dan terhadap politik Amerika (Dunia Tanpa Islam, data no. 12). “ke” pada kalimat tersebut adalah deiksis karena hadirnya unsur bumi Amerika yang menyatakan sebuah tempat. Hal senada juga tertuang dalam Mereboisasi Demokrasi data no. 6 dan 7; Dunia Tanpa Islam data no. 11 dan 12. Judul ini bukan dari saya, melainkan berasal dari artikel Graham Fuller, mantan Wakil Ketua CIA, dalam Foreign Policy (edisi Januari-Februari 2008): “A World Without Islam” (Dunia Tanpa Islam, data no. 1). Kata “dari” dirangkai dengan bentuk persona “saya”, sehingga merupakan deiksis. Selain pada kalimat tersebut hal serupa juga ditemukan pada Doktor Rendra data no. 1, 2, 6; Dunia Tanpa Islam data no. 1, 2, 9, 10.



c. Deiksis waktu
Deiksis waktu juga ditemukan pada beberapa kalimat di dalam rubrik ini. Kalimat Malangnya, negeri ini sekarang tampak sangat berseberangan dengan cita-cita Hatta (Mereboisasi Demokrasi, data no. 2) mengandung deiksis waktu “sekarang” yang maknanya bergantung pada konteks fisik pengucapan kalimat itu. Contoh lain terdapat dalam 2 bentuk kata leksem waktu yang deiksis pada ke-4 wacana tersebut yaitu:
(a) Lihatlah bagaimana mereka menyikapi persoalan-persoalan internasional, misalnya di Myanmar, ASEAN, kerja sama bilateral, konflik perbatasan, hingga kemerdekaan Kosovo kemarin. (Kabinet Medioker, data no. 4)
(b Kebijakan yang “nanggung” bahkan disorientatif (dan pada akhirnya menghasilkan lebih banyak kekeliruan ketimbang kemaslahatan) menjadi cermin yang meruang pada kerja kabinet kita sekarang ini.(Kabinet Medioker, data no. 5)
Kata “kemarin” pada kalimat pertama hanya dapat diartikan jika kita merujuk pada si pembicara. Kata “kemarin” diartikan sebagai waktu yang merujuk pada hari sebelum tuturan terjadi, yaitu pada saat Kosovo merdeka belum lama ini yaitu beberapa tahun terakhir sesudah bangsa penutur (Indonesia) merdeka. Begitu pula dengan kata ganti waktu “sekarang” pada kalimat kedua, hanya dapat dipahami bila kita merujuk pada penutur dan situasi pembicaraan yang sedang terjadi. Kata “sekarang” bermakna sebagai waktu yang merujuk pada saat penutur mengungkapkan kata tersebut penutur merasa bahwa di negaranya sedang terjadi kebijakan yang “nanggung”.
Di dalam rubrik ini juga terdapat leksem waktu yang tidak deiksis. Leksem waktu yang tidak deiksis ditemukan ada 4 bentuk, yaitu:
(a) “Selama” (Mereboisasi Demokrasi, data no. 1), yaitu pada kalimat Ekonomi yang maju dengan mengabaikan pentingnya nilai-nilai politik sehat hanya akan mewariskan suatu negeri yang berdiri di atas cost benefit analysis sembari merelakan tumbuhnya totalitarianisme selama ia sejalan bersama utilitarianisme. Makna waktu dari kata tersebut sudah jelas tanpa harus merujuk pada penuturnya yaitu menunjukkan waktu yang akan terjadi terus-menerus dalam waktu lama.
(b) “Saat” pada Mereboisasi Demokrasi data no. 3; Kabinet Medioker data no. 3, 7, 9, 10; Dunia Tanpa Islam data no. 7, kata tersebut menunjukkan ukuran jangka waktu tertentu dalam rentang waktu yang tidak lama sehingga bisa dipahami tanpa harus merujuk pada si penutur. Misalnya: Hingga tiba saat petaka datang bertubi-tubi, mulai gempa hingga banjir, dari polusi sampai abrasi.
(c) “Masa” pada Kabinet Medioker data no. 2, 7, dan 8, kata waktu ini menunjukkan bilangan tak tentu dan dalam rentang waktu yang panjang. Misalnya pada kalimat: Dalam psikologi, inilah masa ketika manusia kecil merasa dewasa.
(d) Deiksis yang lain seperti Selasa 4 Maret 2008 pagi pada kalimat: Kampus Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta, Selasa 4 Maret 2008 pagi, dan semacamnya, mempunyai waktu yang absolut dan berpatokan pada posisi bumi terhadap matahari, yang dapat langsung dipahami rentang waktunya tanpa harus mengacu pada penutur.

d. Deiksis wacana
Dari keempat edisi rubrik perspektif ini, ditemukan beberapa contoh penggunaan deiksis wacana di dalamnya. Deiksis wacana yang digunakan dalam keempat wacana tersebut adalah deiksis wacana anafora ataupun katafora. Adapun contoh penggunaannya adalah sebagai berikut:
(a) Maksudnya, tidak sekadar membangun sistem yang peka terhadap lingkungan dan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bersahabat dengan lingkungan (Mereboisasi Demokrasi, data no.1). Kata “maksudnya” adalah deiksis wacana, yang berupa deiksis anafora karena merujuk pada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya yaitu mengenai pembahasan demokrasi ‘hijau’.
(b) Dalam psikologi, inilah masa ketika manusia kecil merasa dewasa (Kabinet Medioker, data no. 2). Kata “inilah” adalah deiksis wacana yang berupa deiksis anafora karena merujuk pada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya, yakni mengenai pembahasan mengenai nelayan ‘tanggung’ yang dibahas sebelumnya sebagai pembukaan bahasannya.
(c) Ketika ukuran-ukuran kesejatian, integritas pribadi, atau standar-standar normatif mengalami kerancuan, maka bermunculan manusia-manusia yang mencitrakan dirinya ‘sejati’ (lewat mimbar, headline surat kabar, atau TV commercials), walau sesungguhnya jika tidak ia ‘no one’ bisa jadi malah ia tak lebih dari kurcaci (Kabinet Medioker, data no. 3). Kata “ia” pada kalimat tersebut keduanya merupakan deiksis wacana yang berupa deiksis persona yang merujuk pada manusia-manusia yang mencitrakan dirinya sebagai manusia ‘sejati’ yang merupakan rujukan kepada anggota-anggota kabinet yang dimasukkan penulis.
(d) Lihatlah bagaimana mereka menyikapi persoalan-persoalan Internasional, misalnya di Myanmar, ASEAN, kerja sama bilateral, konflik perbatasan, hingga perbedaan kemerdekaan Kosovo kemarin (Kabinet Medioker, data no. 3). Kata “mereka” adalah deiksis wacana yang berupa deiksis persona yang merujuk pada manuasia-manusia yang mencitrakan diri sebagai manusia ‘sejati’ yang dicitrakan oleh penulis sebagai anggota kabinet yang pernah menjabat di kursi pemerintahan.
(e) Alih-alih ia berkonsentrasi pada pergeseran dan dinamika di level masyarakat, sambil percaya bahwa merekalah sejatinya dan semestinya sumbu perubahan itu (Doktor Rendra, data no. 5). Kata “ia” adalah deiksis wacana yang berupa deiksis persona yang merujuk pada Rendra dan kata “itu” merupakan deiksis katafora yang merujuk pada perubahan dalam reformasi yang disebutkan sebelumnya.

e. Deiksis Sosial
Dari keempat edisi rubrik Perspektif ini, tidak ditemukan adanya deiksis sosial. Hal ini karena sifat bahasa jurnalistik yang netral dan tidak memperhatikan unsur undha usuk bahasa seperti yang terdapat di dalam bahasa Jawa. Deiksis ini digunakan untuk mengungkapkan perbedaan kemasyarakatan antara pembicara dan pendengar, sementara majalah ini yang memang ditulis dalam bahasa jurnalistik, menyamaratakan kedudukan kata, frasa, hal, orang atau ungkapan yang dipakai. Faktor lain yang menyebabkan tidak adanya deiksis sosial adalah untuk menjaga objektifitas penulis di dalam menyoroti sesuatu sekaligus sebagai kekhasan bahasa jurnalistik yang bebas dari subjektifitas dan perasaan penulis.

Simpulan
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa deiksis yang terdapat dalam majalah Gatra yang terrepresentasikan melalui rubrik Perspektif edisi Edisi 21 Februari sampai 19 Maret 2008 adalah deiksis persona, ruang, waktu dan wacana. Dalam deiksis persona, deiksis orang pertama dan ketigalah yang sering muncul. Deiksis ruang yang sering muncul adalah hal ruang yang bersifat statis dan dinamis. Deiksis waktu dalam wacana di atas ada dua yaitu leksem waktu yang deiksis dan leksem waktu yang tidak deiksis. Pada wacana edisi 6-12 Maret 2008 tidak ada leksem waktu yang deiksis. Selanjutnya deiksis wacana ada dua yaitu anafora dan katafora. Di dalam rubrik ini, deiksis sosial tidak ditemukan.

Daftar Pustaka
Ahmad Syafii Maarif. 2008. “Dunia Tanpa Islam” Gatra. No. 18 Tahun XIV. Hal. 114
Bambang Yudi Cahyono. 1995. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Malang: Airlangga Univercity Press
Eep Saefullah Fatah. 2008. “Doktor Rendra” Gatra. No. 17 Tahun XIV. Hal. 106
Nababan, P. W. J.. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mansoer Pateda. 1991. Linguistik Terapan. Yogyakarta: Kanisius.
Radar Panca Dahana. 2008. “Kabinet Medioker” Gatra. No. 18 Tahun XIV. Hal. 116 B.
Sarwidji Suwandi, Budhi Setiawan, dan Raheni Suhita. 2000. Pragmatik. Surakarta: UNS Press
Sri Utari Subyakto-Nababan. 1992. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Verhaar, J. W. M.. 2001. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada Unvercity Press.
Wahyu Wibowo.2001. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Yudi Latif. 2008. “Mereboisasi Demokrasi” Gatra. No. 16 Tahun XIV. Hal. 106.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar